Hijrah Yuuuk…
REFLEKSI HIJRAH : SPIRIT SOLIDARITAS, BANGKIT DARI UJIAN PANDEMI
|
Oleh : MUHAMAD ZAINI, M.KOM.I
(Ketua Bawaslu Kota Tanjungpinang dan Ikatan Alumni Diklat LEMHANNAS RI)
Secara teologis, historis, sosiologis, dan politis peristiwa monumental hijrah telah membawa perubahan yang dahsyat dalam perjalanan dakwah Rasulullah Saw, dengan berpindahnya dari Makkah ke Yatsrib yang kita kenal saat ini dengan Madinah Al-Munawwarah.
Karena sudah merubah kehidupan jahiliyah menjadi Islamiyah. Hijrah 14 abad yang lalu tak mudah, berat dihati meninggalkan kampung halaman, keluarga, harta kekayaan, jabatan kedudukan, bahkan tekanan, intimidasi, pengejaran untuk dibunuh oleh kaum kafir Quraisy. Namun hijrah karena Allah Swt untuk menyelamatkan iman, bukan karena dunia, maka dimudahkan semua prosesnya. Akhirnya kebangkitan Islam sampai kepada puncak kejayaannya, menaklukkan Kota Makkah menguasai jazirah Arab.
Kini kita tak diperintahkan hijrah dalam makna makaniyyah (tempat/wilayah), namun hijrah dalam pengertian ma'nawiyyah (maknawi/spirit/nilai/pemikiran/kebiasaan). Merubah diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dari futur (iman yang lemah) menjadi iman yang kuat dan kokoh, dari kelalaian, kemaksiatan kepada ketakwaan dan ketaatan, menjalankan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.
Dari tidak shalat, mulai melaksanakan kewajiban shalat 5 waktu, dari lalai dan bolong-bolong menjadi sempurna 5 waktu, dari sekedar melaksanakan ibadah wajib maka mulai menghidupkan amalan sunnah, lisan yang terkadang mengghibah dan fitnah maka mulai rajin membasahinya dengan dzikir, istighfar dan doa, dari hati dan fikiran yang lalai selalui tafakur memikirkan kebesaran dan segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah…dari terkadang hak milih orang lain, menjadi mampu menahan diri bahkan menjadi dermawan. Intinya perubahan menuju kearah yang lebih baik dan positif dalam segala hal, serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan.
Mungkin ada yang bertanya, apa yang kita dapatkan dengan hijrah??? Mari kita hayati Firman Allah, sebagai jaminan dan garansi bagi siapapun yang hijrah baik dalam pengertian tempat maupun makna…sebagaimana Allah jelaskan dalam Al-Quran :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. al-Baqarah : 218)
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَة
"Siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di bumi ini tempat yang luas dan rezeki yang banyak". (QS al-Nisâ': 100)
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمْ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا
"Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah kemudian mereka dibunuh atau mati, maka Allah pasti akan memberikan mereka rezeki yang baik". (QS. al-Hajj : 58)
Ternyata Allah memberikan jaminan rahmat, ampunan, lindungan, kemudahan dalam semua urusan, rizk yang luas dan banyak, pastinya jaminan syurganya yang penuh kenikmatan.
Maukah kita hijrah dalam makna yang luas???
Allah sudah memberikan jaminan…jom kita hijrah pemikiran, kepribadian, ketaatan, termasuk hijrah meninggalkan kemaksiatan, kedustaan, ketidakadilan, kezhaliman.
Terus adakah relevansi spirit hijrah dengan kondisi pandemi yang dihadapi bangsa dan dunia???
Makna dan spirit hijrah juga sangat relevan dan solutif ditengah ujian pandemi Covid-19 yang mendera diseluruh lini kehipan, baik keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, serta aspek keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya…
Dimana spiritnya?
Bukan pada saat hijrah, setibanya di Madinah, Rasulullah melakukan proses muakhah (mempersaudarakan) antara kaum muhajirin (kaum muslimin yang ikut hijrah) dengan kaum Anshor (penduduk pribumi Madinah). Terjadi perbedaan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda diantara keduanya.
Jika Muhajirin rela meninggalkan segala yang dimilikinya selama di Makkah hingga mereka hanya membawa pakaian dibadan dan perbeklaan yang secukupnya, sementara Anshor memiliki kekayaan harta benda dan kedudukan ditengah masyarakatnya. Sehingga dengan proses muakhah, Rasulullah telah berhasil menyelesaikan masalah sosial kaum muslimin.
Dimana kepedulian dan kasih sayang kaum Anshor kepada kaum Muhajirin sama dengan kasih sayang dan kepedulian dengan keluarganya sendiri. Sehingga mereka menjadi satu kesatuan keluarga besar dalam persaudaraan dan persatuan diatas nilai keimanan dan keislaman. Bahkan kaum Anshor dengan suka rela dan penuh kesadaran memberikan bantuan berupa moril dan materil kepada saudaranya Muhajirin.
Terekam dalam potret sejarah, Abdurrahman Bin Auf seorang saudagar kaya raya yang sukses di Makkah, hartanya habis digunakan untuk mendukung dakwah Rasulullah dan kaum muslimin yang hijrah, ditengah kehidupannya yang tak berharta, dipersaudarakan dengan seorang sahabat dari anshor bernama Sa'ad Bin Rabi Al-Anshori.
Sahabat Anshor tersebut berkata kepada Abdurrahman Bin Auf, "Wahai saudaraku, aku memiliki harta, kebun kurma dan hewan ternak, maka aku berikan sebagian untukmu", "Bahkan aku memiliki beberapa orang istri, kamu lihat lihatlah mana yang cenderung dihati, maka aku akan mentalaknya, maka setelah habis masa 'iddah kamu menikahlah dengannya".
Namun hebatnya lagi, sahabat Abdurrahman Bin Auf bukan sosok yang "aji mumpung apalagi pragmatis", tapi menjaga izzah, marwah dan 'iffah diri. Lalu disambut hangat dengan doa. "Wahai saudaraku, semoga Allah memberikan keberkahan bagi keluarga dan hartamu, namun tunjukkanlah kepadaku, dimanakah pasar?"
Kemudian, dengan modal rahmat dan pertolongan serta jiwa kemandirian dan etos kerja yang tinggi, maka Allah memberikan kehidupan yang semakin baik dan kekayaan kembali kepada Abdurrahman Bin Auf.
MasyaAllah masih adakah rasa solidaritas dan kedermawanan seperti itu hari ini??? Apa lagi ditengah pandemi Covid-19???
Semoga momentum hijrah yang menjadi tahun baru Islam, menyuburkan rasa solidaritas kita dalam menghadapi tantangan ujian pandemi…sekaligus untuk menguji keimanan kita…
Sikap kepedulian dan solidaritas sahabat Rasulullah Saw, kaum Anshor dan Muhajirin, tentunya tak tumbuh dengan sendirinya, melain buah dari kesabaran Rasulullah Saw dalam mentarbiyah (mendidik) kaum muslimin pada saat itu. Sebagaimana Rasulullah Saw senantiasa mewasiatkan, dalam sebuah haditsnya :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari, No.13 dan Muslim, No.45)
Maka nilai-nilai muamalah dan kepedulian ini yang harus senantiasa kita edukasi bagi bagi keluarga, masyrakat, kehidupan bnagsa dan negara. Yakinlah setiap kebaikan yang kita berikan, maka hakikatnya kebaikan itu untuk diri kita sendiri, sebagai tabungan pahala, serta langsung di dunia, terlebih syurga Allah yang menanti kelak di yaumil akhir.
Maka refleksi dan motivasinya, jika secara personal kita diharuskan untuk peduli dengan sesama, maka tentu kehadiran negara harus lebih proaktif dalam kepedulian dan solidatitas untuk membantu rakyatnya, harus hadir memberikan solusi yang kongkrit dan tepat.
Pemimpin dalam setiap levelnya, baik skala nasional maupun lokal, sebagai penyelenggara negara, harus mampu melahirkan program-program pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 dengan memperhatikan implementasi nilai-nilai pilar bangsa; UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, secara berkeadilan bagi semua masyarakat, tanpa membedakan kelompok maupun golongan. Program yang tepat dan solutif, bukan menyusahkan masyarakat yang terdampak positif Covid-19 dan terdampak ekonomi. Tentu pembatasan sosial harus diiringi solusi membahagiakan masyarakat, bukan menimbulkan persoalan baru.
Bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak harus tepat sasaran secara merata, tidak boleh hanya dirasakan sebagian daerah atau kelompok saja, maka prosesnya harus berbasis data yang akurat, maka disinilah pentingnya implementasi nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Jika persoalan bangsa dihadapi dengan iman dan takwa, serta berorientasi pengabdian dan berasaskan keadilan, insyaAllah niscaya Allah Swt akan jadikan negeri ini berkah, aman sentosa, rakyat makmur sejahtera, menjadi negeri yang "Baldatun thayyibatun warabbun ghafur". Sebagaimana firmanNya :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
"Sekiranya suatu penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (QS. Al-A'raf: 96)
So??? Yuk kita hijrah totalitas dan perkuat solidaritas untuk bangkit dari segala ujian. Akhirnya selamat untuk negeriku, 76 Tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 2021…Merdekalah Bangsaku…Hijrah Merdeka Totalitas.